Sebagian
dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo.
Kisah yang dianggap legenda ini begitu popular di Jawa Timur karena
mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang satu sebuah kerajaan besar
bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak pernah tunduk terhadap
hegemoni kerajaan besar itu, yakni Kerajaan Blambangan. Perseteruan ini
melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah
Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah
ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama
Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis
pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis 1774), di mana proses
penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa
Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di
samping mengacu kepada sumber berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita
masih memiliki sumber primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan,
yakni Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan
nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut yang
menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit. Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya)
dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan
kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah
menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya
berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan
dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja
ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari, yang telah dikenal baik oleh
Raden Wijaya yang tak lain menantu dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja
diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja
Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi,
hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya.
Muljana menjelaskan bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran
pemerintahan Majapahi karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe
memberontak terhadap Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit
hati dan mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai
wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu
mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur
yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan
pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung
Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali
(”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”).
Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan
sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai
1331. Setelah Nambi terbunuh karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan
Blambangan kosong hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem
Sri Bhima Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan,
Dalem Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada
Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya
sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa
pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni
Kidung Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian
ayahnya yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah
Nambi adalah Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng
pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes,
Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending
dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit.
Akhirnya Nambi sekeluarga tewas dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama,
yang memimpin penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini,
jelas Nambi berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur,
wilayah yang menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja
masih hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum
dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak
menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita
ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara
“Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus
kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa
(suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara
Parameswara ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk
karena putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah
Bhatara Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada
Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming,
kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M
di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru.
Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur,
mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini
membuat Wikramawardhana, penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia
membatalkan masa kependetaannya yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang
menjalankan roda pemerintahan adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu
jelas, bahwa penguasa “Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming
ini mengacu pada penguasa di Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian,
muncul masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi
sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan
bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra
ketika Wikramawardhana menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung
Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan
membawa upeti. Rupanya kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan
Bhre Wirabhumi untuk mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi
ini memiliki maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina.
Pengesahan resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur
membuat geram Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre
Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban
pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan
Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk
mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara
Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan
atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan
Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun
ia berhasil dikejar oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu
dibawa ke Majapahit untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre
Wirabhumi kemudian ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga
(1406), bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara
atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan
Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa
Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan
Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah,
Wikramawardhana turun takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh
Wikramawardhana tidak disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang
selir, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak
lelaki dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta
tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni
Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan
Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni
Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi).
Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut
Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni
Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit.
Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak
diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang
menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan
Salas.
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni
Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk
wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad
ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya
yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan
baru muncul pada abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa
Mataram-Islam, dua abad setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah
Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16
menyebutkan nama tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur
sebagai tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian
selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang Majapahit.
Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada
1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu
juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama
dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke
Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri
sebelumnya pernah mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478.
Penyerangan itu dalam rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang
Singawikramawardhana yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre
Kretabhumi, sehingga menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri.
Pendapat ini didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga
Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha
jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat
dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija
melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur,
utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang
cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal
terpenting bagi Majapahit. Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini,
Kerajaan Panarukan ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan
penuturan orang Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi
sebagai Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di
Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak.
Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis,
yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa
Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan
Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak
kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih
timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan
Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya. Pasuruan
ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di
ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan
mengalami kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan
Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak
mampu menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak,
posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut
oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi
Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam.
Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri
sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan
Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan
Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka
dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup
berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada
berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan
ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh
Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di
Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar
Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini
menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita
bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya
yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan
memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk
untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di
atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan
Sudhimara (Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat
itulah yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton
Macan Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih,
Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511)
menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru
dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali,
kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum),
pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk
mengatasi pemberontakan laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai
ibukota Blambangan. Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang
Alun—dan para pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan
Mataram pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa
dirinya menarik pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk
menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan
ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh
sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan
serangan adik Tawang Alun sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut
cerita penduduk setempat, tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo
Bayu ini.
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Sepak terjang Tawang Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda, ketika masa
terakhir pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya, mencatat prosesi pembakaran
jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18 September 1691) yang begitu
spektakuler. Bagaimana tak spektakuler jika dalam upacara ngaben itu sebanyak
271 istri dari 400 istri Tawang Alun ikut membakar diri (sati) ke dalam kobaran
api?
Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang, posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang, posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya sekitar setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya mirip pendopo berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan Bujangga Manik
memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun ini dilewatinya
sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah sebelumnya menyeberang
dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat melalui jalur pantai selatan Jawa.
Toponimi Padang Alun di sini tentu mengingatkan kita pada nama Tawang Alun.
Dilihat dari segi semantis (makna kata), kata padang berdekatan dengan kata
tawang: padang dalam bahasa Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti
“terbuka, tidak tertutup bayang-bayang” (Noorduyn, J dan A. Teeuw, 2009: 512).
Dari jabaran ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Padang Alun pada abad ke-15/ke-16
tak lain adalah nama alternatif dari Tawang Alun. Deskripsi ini memperkuat
dugaan bahwa nama Tawang Alun untuk penguasa wilayah ini diambil dari nama
tempat di mana ia memerintah, atau mungkin saja sebaliknya. Kemungkinan besar,
penguasa “Padang Alun” pada masa Bujangga Manik melewati wilayah ini tak lain
adalah Tawang Alun.
Reruntuhan Candi Tawang Alun di Desa Buncita, Kec. Sedati, Sidoarjo, Jawa
Timur, yang tidak terawat. Masyarakat setempat memercayai bahwa candi ini
didirikan oleh Resi Tawang Alun untuk dipersembahkan kepada salah seorang
selirnya, Putri Alun. Kebenaran kisah tersebut masih harus diselediki, dan
apakah berhunungan dengan keberadaan Raja Tawang Alun dari Blambangan.
Sumber: http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/candi-tawangalun.html
Sumber: http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/candi-tawangalun.html
“Puputan Bayu” Melawan VOC
Setelah Tawang Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng di Bali. Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai Blambangan. Perang pun meletus pada 25 Maret 1767 dan pusat Blambangan dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat Blambangan tak pernah padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang baru dilantik menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC. Sayang, Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong, dekat Pasuruan.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Setelah Tawang Alun meninggal, Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng di Bali. Setelah itu, VOC Belanda berusaha menguasai Blambangan. Perang pun meletus pada 25 Maret 1767 dan pusat Blambangan dapat dikuasai VOC. Namun, perjuangan rakyat Blambangan tak pernah padam. Pangeran Agung Wilis atau Wong Agung Wilis, yang baru dilantik menjadi raja Blambangan, langsung angkat senjata melawan VOC. Sayang, Pangeran Agung Wilis dapat ditangkap VOC dan diasingkan ke Selong, dekat Pasuruan.
Perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Jagapati merupakan keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan Blambangan
berada di Lateng (sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi). Ia melarikan diri
karena tidak puas terhadap VOC yang mengangkat raja Islam yang ternyata korup.
Jagapati segera menobatkan diri sebagai Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan
menghimpun prajurit-prajurit Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati
membangun tempat yang mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki
Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya
berwarna hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren,
Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan.
Pemandangan di sekitar Rowo Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, di kaki Gunung Raung.
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Pemandangan di sekitar Rowo Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, di kaki Gunung Raung.
Sumber: http://ikaningtyas.blogspot.com/2010_06_01_archive.html
Perlawanan Pangeran Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita bernama
Mas Ayu Wiwit. Pada 1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan melawan serbuan
Belanda yang bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan serangan rakyat Madura
pesisir Jawa Timur yang dipimpin oleh Ki Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu
Wiwit, Mas Jagapati, bersama para pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki
Tumbhakmental, Ki Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki
Jagalara dengan sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan
Bayu berlangsung sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.
VOC yang marah segera mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas prajurit
Blambangan, pada Oktober 1772. VOC membakar lumbung-lumbung padi di Songgon,
sehingga perlawanan rakyat Blambangan melemah karena kelaparan. Perang pun
pecah kembali. Kali ini, ribuan prajurit Blambangan dibunuh, kepala mereka
digantungkan di pohon-pohon di sekitar Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula
berjumlah 8.000-an hanya tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC
itu. Penduduk Blambangan lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah
pegunungan di sebelah selatan atau baratdaya.
Diperkirakan, setelah Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk
Blambangan lenyap. Untuk menutupi kekurangan jumlah penduduk ini, pemerintah
kolonial Belanda mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk mendiami
Blambangan. Sementara itu, penduduk Blambangan yang tidak melarikan diri kini
dikenal sebagai masyarakat “sing”. Kata sing berarti “tidak”, dan di sini
bermakna “orang yang tidak ikut mengungsi”. Baru seabad kemudian, pada masa
Thomas Raffles, penduduk Banyuwangi tercatat berkisar 8.554 jiwa.
Muncar, Ibukota Baru
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC memindahkan ibukota kerajaan ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan VOC atas pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat sebelumnya kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun melawan kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC memindahkan ibukota kerajaan ke wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan Ulupampang (kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan VOC atas pertimbangan guna mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan Gelgel dan Mengwi di Bali berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan raja-raja Bali untuk merebut Blambangan dapat dimengerti mengingat sebelumnya kerajaan-kerajaan di Bali itu selalu memberikan bantuan kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun melawan kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali dengan jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja di Blambangan dengan harapan proses islamisasi berlangsung lebih cepat.
Di Muncar inilah periode Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai. Dari
Muncar, ibu kota Kerajaan kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat ini menjadi
letak Pendopo Kabupaten Banyuwangi). Pada masa ibukota di Muncar ini, otomatis
eksistensi Blambangan sebagai kerajaan telah lenyap.
Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Ketika islamisasi makin berkembang di Blambangan, banyak warga yang memilih untuk menyeberang ke Bali. Mereka masuk sebuah hutan bernama Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama Hindu dan menolak pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Sementara itu, Pelabuhan Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan sekaligus
pusat militer VOC pada abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC mengangkat warga
Tionghoa menjadi kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup ramai dikunjungi
pedagang-pedagang dari Cina, Arab, dan beberapa wilayah Nusantara, sehingga di
sekitar pelabuhan terdapat perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik luar negeri.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik untuk memetakan wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut dari masa Lumajang, sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota terakhir, jelas bahwa pusat Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan jelas pula bahwa Kerajaan Blambangan merupakan negara yang selalu berada dalam kondisi politik yang bersitegang dan penuh dengan konflik luar negeri.
Letak Istana
Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran kita alihkan ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Membicarakan letak istana(-istana) Blambangan tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pusat pemerintahan pertama kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya kita menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini, belum ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu, penelusuran kita alihkan ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke Banyuwangi.
Masyarakat yang mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah
melakukan penggalian di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai rampung. Walau
begitu, bukannya tak ada bukti sama sekali mengenai bangunan pada masa Kerajaan
Blambangan ini. Warga sekitar Desa Macan Putih masih sering menemukan sisa-sisa
batu bata yang diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih
besar dibanding ukuran batu bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu
bata itu masih belum jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding
keraton. Yang bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial
Belanda.
Selain di Desa Agung Macan Putih, ada pula Situs Umpak Songo di Desa
Tembokrejo, Kecamatan Muncar, yang dipercaya sebagai bekas reruntuhan bagian
kerajaan atau benteng kerajaan yang memiliki panjang sekitar 5 km. Di dalam
situs ini terdapat 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya berlubang di
tengah. Kesembilan batu yang tengahnya berlubang itu berfungsi sebagai umpak
atau penyangga, karena itulah situs ini dinamakan Umpak Songo (Sembilan
Penyangga). Ketika ditemukan, situs ini terpendam pada kedalaman 1 – 0,5 m dari
permukaan tanah, membentang dari Masjid Pasar Muncar hingga area persawahan
Desa Tembokrejo. Diduga, benteng atau istana ini merupakan peninggalan
Blambangan pada saat ibukota pindah ke Muncar.
Bangunan lain yang merupakan peninggalan Kerajaan Blambangan pada periode
Muncar adalah Siti Hinggil (Setinggil) yang bermakna “Tanah yang Ditinggikan”
(siti adalah tanah, hinggil/inggil adalah tinggi). Siti Hinggil ini berada di
sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Fungsi Siti Hinggil adalah sebagai pos
pengawasan VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan
melakukan penyerangan, yakni berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan
batu tebing guna mengawasi keadaan di sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil
ini dari Situs Umpak Songo cukup ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur.
Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Dari teks Bujangga Manik yang ditulis sekitar abad ke-16, kita dapat memperoleh
sebuah nama daerah sebagai tempat bertapanya kaum agamawan Hindu, yakni
“Balungbungan” yang, bila merujuk teks naskah tersebut, terletak di ujung timur
Pulau Jawa. Sangat mungkin sekali bahwa nama Blambangan pada abad ke-16 (dan
juga abad-abad sebelumnya) adalah Balungbungan, atau Balungbungan merupakan
penulisan lain dari Blambangan atau Balambangan.
Ada pun tokoh dalam Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari keraton
Pakuan yang bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan menuju kehidupan
abadi. Tokoh ini menolak menikah dan memilih untuk bertapa di Balungbungan,
guna mencari tempat peristirahatan terakhir. Setiba di Balungbungan, setelah
berhari-hari berjalan menapaki wilayah utara Jawa dari Pakuan (di sekitar
Bogor, Jawa Barat), tokoh ini melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan,
berkebun, dan mendirikan lingga. Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih
setelah didatangi oleh seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa.
Tokoh ini memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus
ditemani seorang yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang
dilarang.
Dari keterangan yang diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno tersebut, jelas
bahwa Balungbungan merupakan salah satu tujuan kaum agama kala itu yang ingin
menjadi pertapa dan tujuan para peziarah dari berbagai pelosok. Meski tak ada
keterangan lain yang diperoleh dari naskah tersebut mengenai Balungbungan
kecuali sebagai tempat keagamaan, namun kiranya kita dapat memahami sepenggal
peranan Balungbungan pada masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita
diyakinkan bahwa agama yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan
pra-Islam adalah Hindu.
Pada abad ke-16, ketika kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam, hanya
ada dua kerajaan yang berpegang teguh pada coraknya yang Hindu, yakni
Sunda-Pajajaran dan Blambangan. Dua kerajaan ini pula yang melakukan hubungan
politik dengan Portugis yang bermarkas di Malaka. Persekutuan ini merupakan
usaha politis dua kerajaan tersebut dalam menahan penetrasi kerajaan-kerajaan
Islam yang justru tengah berusaha menghalau pengaruh Portugis di kawasan
Nusantara.
Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan perjuangan
masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah.
Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat
Blambangan—juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.
Kehidupan
Sosial dan Ekonomi
Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai sistem sosial dan ekonomi yang
dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires (Lombard, 2008: 171) menulis
bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak memprosuksi hamba atau hulun
alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu pengekspor golongan masyarakat
tersebut.
Ada pun kehidupan ekonomi-sosial masyarakat Blambangan sangat bergantung pada
padi. Hal ini berkesesuaian dengan berita bahwa pasukan VOC membakar
lumbung-lumbung padi saat menyerang Blambangan. Fakta bahwa baik Panarukan
maupun Muncar adalah kota-pelabuan menimbulkan anggapan bahwa kehidupan ekonomi
kawula Blambangan bergantung pula pada penghasilan laut. Selanjutnya, belum
diketahui pasti apa lagi hasil bumi yang dikelola oleh masyarakat Blambangan,
namun kiranya dapat disejajarkan dengan apa yang digarap oleh masyarakat
Majapahit.
Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo
Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada 1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah siapa orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari, ketoprak, dan teater.
Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula bila kita menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa Paregreg. Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad kemudian setelah peristiwa berlangsung.
Muljana menulis bahwa cerita roman Damarwulan dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang Paregreg yang terjadi pada 1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan Jawa—yang entah siapa orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak terhitung sudah berapa kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni sendratari, ketoprak, dan teater.
Kisah Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah serat: Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat Kanda, yakni sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti fakta-fakta sejerah seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula bila kita menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa Paregreg. Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad kemudian setelah peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa Blambangan bernama Minakjinggo ingin mempersunting Ratu
Majapahit Kenya Kencanawungu. Ia menaikkan statusnya, dari adipati menjadi raja
Blambangan dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak ingin diperistri
oleh Minakjinggo (yang digambarkan bertabiat kasar, buruk rupa, dan berbadan
besar) yang sudah memiliki dua orang istri, Dewi Puyengan dan Dewi Waita. Sang
Ratu segera mengadakan sayembara: barang siapa yang bisa mengalahkan
Minakjinggo, ia akan diberi hadiah berlimpah. Raja Minakjinggo pun
mengobrak-abrik Majapahit dengan Gada Wesi Kuningnya. Sebelum ke Majapahit,
pasukan Blambangan menyerang Lumajang; bahkan dikirim pula utusan ke Ternate
untuk diminta bantuan oleh Minakjingo. Para prajurit dan pejabat Majapahit
banyak yang gugur, termasuk Ranggalawe. Tatkala situasi tak menentu ini,
datanglah Damarwulan. Damarwulan adalah putra dari Patih Majapahit bernama
Udara. Setelah dewasa ia mengabdi kepada pamannya, Patih Loh Gender di
Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput. Putri sang Patih, Dewi Anjasmara,
terpikat pada Damarwulan.
Singkat cerita, Damarwulan menghadap Kencanawungu dan diangkat menjadi panglima
Majapahit. Berangkatlah Damarwulan menghadapi Minakjinggo. Berkat bantuan kedua
istri Minakjinggo, Waita dan Puyengan, Damarwulan berhasli mengalahkan
Minakjinggo, memenggal kepalanya sebagai bukti kepada Ratu kencanawungu.
Damarwulan membawa kepala Minakjinggo ke Majapahit. Namun, di tengah jalan ia
dikhianati oleh dua orang anak Loh Gender, yakni Layang Seta dan Layang
Kumitir, yang mengaku sebagai utusan Ratu Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo
diserahkan oleh Damarwulan. Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan
Layang Kumitir pun dianggap pahlawan oleh ratu dan rakyat Majapahit. Namun,
akhirnya kedok mereka berdua terkuak, Damarwulan pun menikah dengan
Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Mertawijaya.
Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu membuahkan seorang putra bernama
Brawijaya.
Raffles menulis (2008: 234) bahwa pada abad ke-19 cerita Damarwulan-Minakjingo
merupakan cerita favorit orang Jawa dan kerap dipentaskan dalam bentuk wayang
klitik (wayang dari kayu dengan tinggi 10 inci) dan wayang beber (sosok wayang
digambar pada lembaran kertas yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang (Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam seni Banyuwang dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk dinikahi oleh Minakjinggo.
Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk mengukuhkan pengetahuan masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam (juga Pajang dan Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan begitu mereka merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.
Sebagian masyarakat percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita, sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat ahistoris dan memang bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya terdapat nama Ranggalawe sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa Sanggramawijaya). Akan tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu hal yang perlu diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis serat tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang (Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo. Mengapa? Karena dalam seni Banyuwang dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan rencananya untuk dinikahi oleh Minakjinggo.
Dan tentu: serat-serat tersebut dibuat untuk mengukuhkan pengetahuan masyarakat awam bahwa raja atau sultan Mataram-Islam (juga Pajang dan Demak) merupakan keturunan raja-raja Majapahit, dan dengan begitu mereka merasa lebih percaya diri untuk membangun kekuasaan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar