Senin, 28 April 2014

Pemberontkan bayu dalam BABAD BLAMBANGAN

Keluarga istana Blambangan yang terlibat dalam
pemberontakan:

1. Mas Dawak (30 tahun), putra Bagus Sutawainada bin Bagus Warti
2. Mas Bagus Maninrana (30 tahun), putra dari Mas Bagus Sulasari, Mantri, kepala ayah
Pangeran Pati’s. Mas Bagus Sulasari adalah anak dari Mas Dalem (Wiraguna), juga
ayah Mantri kepala Pangeran Pati’s.
3. Mas Bagus Nangkan (17 tahun), saudara Mas Bagus Maninrana
4. Mas Rempeg (17 tahun), anak dari Mas Bagus Wali, Mantri
Pangeran Pati, dengan Mas Ayu Dawia. Yang terakhir adalah anak dari Sutra Mas, Mantri, kepala dan keponakan dari ayah Pangeran Pati
5. Mas Danu (10 tahun), putra dari Mas Bagus Punawijaya, Mantri, kepala dan keponakan Pangeran Pati, yang menikah dengan orang biasa bernama Ori. Yang terakhir adalah anak dari Lumajang Mas Mantri, Pangeran Pati.
6. Mas Bagus Girombyong (27 tahun), setengah-saudara Mas Danu, anak Bagus Punawijaya oleh kedua istri Mbok nya Kuke, seorang wanita biasa.
7. Mas Lunjuk (30 tahun), putra dari Mas Tirto, Mantri, Pangeran Pati. Yang terakhir adalah anak dari Raden Mas Lalateng, Mantri, kepala ayah Pangeran Pati’s.
8. Bagus Jumut (17 tahun), saudara muda Lunjuk, putra Raden Tirto.
9. Bagus Mardin, (24 tahun), seorang putra ulama dari Bagus Setawongsa yang menikah dengan rakyat biasa. Yang terakhir adalah anak dari Bagus Bunut.
10. Bagus Sasik (17 tahun), keponakan dari Bagus Werdan, dan anak Bagus Krangga, Mantri, Pangeran Pati.
11. Bagus Kuyang (7 tahun), putra Bagus Bujang yang menikah dengan seorang biasa bernama Barakan. Yang terakhir adalah putra Dalem Bagus Puger.
12. Bagus Marsali (17 tahun) seorang ulama, seorang anak Bagus Sintaka. Yang terakhir ini adalah putra dari Bagus Karte.
13. Bagus Garu (30 tahun), putra Bagus Lepus Lumajang. Yang terakhir adalah anak dari Raden Lumajang
14. Bagus Banis (29 tahun), putra Bagus Nala Diwangsa, Mantri, Pangeran Pati. Yang terakhir adalah putra Bagus Wongsa Rika, Mantri, ayah Pangeran Pati’s
15. Mas Ayu Cawik (50 tahun), putri Bagus Patra Kusuma, Mantri, ayah Pangerang Pati’s. Yang terakhir adalah putra Dalem Bagus Patra, Mantri, ayah Pangeran Pati’s.
16. Mas Ayu Sarinten, putri dari Mas Bagus Wanapura, Mantri, ayah Pangeran Pati’s. Yang terakhir adalah anak dari Mas Bagus Patra Kusuma.
17. Mas Ayu Saribak, adik Mas Ayu Sarinten.
18. Bagus Puhok (18 tahun), putra Bagus Kuka. Yang terakhir ini anak
Ki Demang
19. Mas Ayu Lanti (30 tahun), putra dari Mas Prabangsa, Mantri, dari
Pangeran Pati. Yang terakhir adalah anak dari Mas Dalem Prabangsa.
20. Mas Ayu Teok (9 tahun), putri Mas Patra Kusuma, Mantri, Pangeran Pati. Yang terakhir adalah anak dari Mas Dalem Prabawangsa.
21. Mas Ayu Tunjung (30 tahun), putri Pangeran Pati oleh biasa.
22. Mas Bagus Ketut (20 tahun), saudara Manin Rana.
23. Mas Ayu Kampia (17 tahun), putri Mas Jemili. Yang terakhir adalah
bin Mas Puspa Nagara, Mantri, ayah Pangeran Pati’s

Keluarga kerajaan Blambangan yang tetap setia dalam pemberontakan dari Pseudo-Wilis (Mas Rempeg atau Pangeran Pakis atau Susuhunan Jagapati), 1771-1773

1. Mas Jaka, putra Sutajiwa Mas. Yang terakhir adalah anak dari Mas Sura. Dua yang terakhir disebut adalah mantan Patih Blambagan. (Sutajiwa adalah anak dari Pangeran Pati dengan istri keduanya, Mas Ayu Kapi. Yang terakhir adalah putri dari Mas Puspa Nagara, putra mantan Bupati Banger Mas Jayalalana.
2. Mas Ayu Sepuh, adik Ayu Mas Kapi, bibi dari Mas Jaka, ayahnya Mas Puspa Nagara bin Mas Jayalalana dari Banger. Mas Ayu adalah janda dari almarhum Mas Wira Raja.
3. Bagus Pangulu (ulama a), putra Bagus Rangga, Mantri, mantan kepala Blambangan. Yang terakhir adalah anak dari Bagus Melik Mantri, Kepala Pangeran Pati. ibu Bagus Pangulu adalah seorang biasa
4. Bagus Ketib (ulama a), putra Demang Bagus dengan Mbok Ayu Pura. Bagus Demang adalah Mantri kepala Pangerang Pati. Bagus Ketib kakek juga merupakan Mantri Pangeran Pati.
5. Bagus Goang (ulama a), ayahnya Bagus Goang-I, Mantri Pangeran Pati dan ayah lulusan nya Bagus Wongsarika, Mantri, ayah Pangeran Pati’s.
6. Bagus Taib, (para Lurah Kota bawah Puspadiwongsa Mantri), putra dari Pura Mas Daka, lahir di Bali.
7. Bagus Werdan (22 tahun), putra Bagus Rangga oleh Lanang Ayu, Mantri Pangeran Pati. Yang terakhir adalah putra Bagus Rangga-aku, juga Mantri Pangeran Pati.
8. Bagus Wadi (18 tahun), saudara Bagus Werdan bin Bagus Rangga.
9. Bagus Wana (25 tahun), putra Bagus Wayan. Yang terakhir adalah putra Bagus Bawi, para Lurah dari Pangerang Pati.
10. Bagus Jidin (25 tahun), putra Bagus Nilawongsa dan cucu dari Demang Bagus, Mantri dari ayah Pangeran Pati.
11. Latan Bagus Madura dan putranya Bagus Jujung. Yang pertama disebutkan adalah putra Bagus Lael (seorang ulama) yang menikah Ayu Mariam. Bagus Latan adalah cucu Bagus Wangsa Weka, Mantri, ayah Pangeran Pati’s.
12. Bagus Jaman (10 tahun), putra Bagus Wangsatruna (Kepala Mantri ayah Pangeran Pati’s) yang menikah dengan Mas Ayu Lusia.
13. Mas Ayu Kakir Madura (adik dari Ratu, Mas Ayu Nawangsasi). Dia adalah putri Bagus Wiraguna (Mantri, Kepala Pangeran Pati) bin Bagus Wiraguna-I (Bupati Macan Putih)

Pangeran Blambangan

1665 – 1692 Susuhunan Tawangalun
1692 – 1698 Mancanapura
1798 – 1736 Pangeran Adipati Danureja
1736 – 1763 Pangeran Danuningrat Adipati / Mangkuningrat Pati Pangeran /
1763 – 1768 Kotabeda dan Kabakaba (Bali)
1768 – 1768 Pangeran Wilis
Bupati dari Blambangan / Banyuwangi 

1767 – 1768 Mas Anom dan Mas Uno
1768 – 1771 Ki Mas Sutanagara / Mas Wasengsari
1771 – 1773 Tumenggung Kartanagara Jaksanagara Tumengung / Kartawijaya
1774 – 1782 Tumenggung Wiraguna I (Mas Alit)
1776-1818 Tumenggung Wiraguna II (Thalib Mas)

Daftar Narapidana Cina Blambangan
 
1 Ong Ong Toko 11 Toenko 21 Se Hoiko
2 Than Haijko 12 Lie Ijoe 22 Tjoe Konko
3 Nio Keko 13 Loei Hoksing 23 Hoeko Tan
4 Thee Lamko 14 Tan Sinko 24 Ang Souko
5 Qua Jamko 15 Ong Hoako 25 Lang Piko
6 Thee Lonko 16 Ijoe 26 sie Tan Tjauko
7 Thee Kakko 17 Sim Loko 27 Tan Gieko
8 Nio Sonko 18 Iniko 28 Limthinko
9 Kau Tikko 19 Isoa Sanko 29 Sie Tonko
10 Boe Ganko 20 Ang Latko 30 Owan Nio
Pasukan Adat dikirim ke Blambangan pada tahun 1772
Madura 2.000
Surabaya 600
Sumenep 300
Pamekasan 340
Sedayu Gresik 90
Kabupaten Pasuruan 90
Banger Bangil Lamongan 25
Sumber: VOC 3337
Daftar desa huni di Blambangan sebelum pemberontakan Pseudo-Wilis, 11 Juli 1770
Jeladi ,
Kaboran,
Buwana
Sapaiman ,
perahu ,
Sulingkran ,
Derek ,
Illimanik ,
Wasukie ,
Jintanan ,
Kapolean
Pujar
Suroni
Lebak
Babaru
Songon
Kentong
Sangang
Kapoelan Galaga
Blankonan
Sinamakti
Baiman
Saranat
Gondosali
Rindinan
Sokarani
Wonosuro
Senon
Pawelutan
Jogonilo
Kamirie
Bindo
Wonotirto
Balombang
Jukon
Gadonan
Labonan
Rawassan
Kabatssukan
Kayam
Kalitan M Tamanagon
Daowan
Binar
Tamanagon
Rawasandie
Patekalan
Petang Gunung
Wielon
Bakaulu
Muncar
Labang Cina
Parjata
Kabebeekan
Popona
Kadal
Wirosobo
Gierie
Tasari
Kabadean
Galagalur
sulatri
Kassian
Pawijenan
Manukali
Tunla
Kabrukan
Mancan Putih
Pagger Goenong
Banyukan
Pakes
Karang Anjar
Kongsol
Bolokdoko
Saratan
Jitik Sinoijitikat
Karambang
Kapuk Wierosoetan
Jitik
Ragajampie
Tenorot
Kanaijara
Petang
Tenorot
Bangsri
Jakjak
Tegaldun
Walaran
Paparanan
Badran
Gambor Wirogunan
Gagaran
Puako
Babakan
Kradenan
Balak
Kunir
Galintang
Pamaran R Kanitri
Sampean
Kabat Sarpin
Kanitri
Palandakan
Ampel
Wiu
Tamblang
Sinlatren
Kajitan
Watanan
Tumagara
Gambolwaru
Wumbu
Wiyuyu
Plalewasan
Duwu Tegal
Glatuk
Kalandasana
Lojajar
Toemang
Padaronan
Loedjadjar W Santok
Wanahayu
Garome
Santok
daftar pustaka:Babad blambangan,Winarsih PA

Pantai Watu Dodol


Apabila Anda sering beperpegian ke Bali lewat darat, terutama lewat utara Jatim, yaitu kawasan Situbondo, maka saat memasuki wilayah Banyuwangi Anda akan disambut Gapura Kejut. Ada patung Gandrung (Kesenian khas Banyuwangi) di sebelah kiri. Deburan ombak dengan air laut yang bening, serta ada onggokan batu besar di tengah jalan. Itulah yang disebut Watu Dodol.

Konon menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, nama “Watu Dodol” itu menceritakan asal muasal batu itu. Watu bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesia Batu. Dodol, atau dalam masyarakat Using disebut Jenang. Nama jenang itu, biasanya diikuti jenis bahan bakunya. Misalnya, jenang ketan, karena terbuat dari beras ketan. Jenang Selo dan sebagainya. Nah dari sini, cerita asal usul watu dodol terlihat sekali bukan berasal dari masyrakat lokal. Apalagi pelaku cerita adalah Kyai Semar, tokoh pewayangan. Padahal warga Using (asli Banyuwangi), tidak mengenal tradisi pewayangan.

Masih melanjutkan kisah tentang watu dodol, konon Batu itu berasal dari jualannya Kyai Semar yang terjatuh di tempat itu. Sedang berasnya tumpah, menjadi pasir yang bersih di sekitar pantai watu dodol Konon alat pukulnya, kayu kelor, terlempat dan menancap di sela-sela batu di kana jalan (kalau dari Surabaya). Ini juga aneh, di celah batu tumbuh pohon kelor. Bagi masyarakat Jawa, kelor merupakan senjata pamungkas untuk menghilangkan segala pengaruh mistik yang dimilki seseorang. Seperti ilmu kanuragan atau ilmu hitam, diyakini akan luntur bila bersentuhan dengan kayu kelor. Sementara bagi warga Using, merupakan bahan sayur segar yang disajikan pada siang hari. Terutama pada hari ke-2 dan setelah pada Idul Fitri. Bisa dipastikan, banyak orang Using yang memasak sayur daun kelor.

Keanehan lain, adanya air tawar yang keluar dari bibir pantai di watu dodol. Padahal, di kawasan itu kan air asin semua. Masih menurut cerita tadi, konon air berasal dari bekal minum Kyai Semar yang tumpah. Bagi orang yang percaya katanya air itu merupakan air kehidupan (Tirto Nadi). Mereka ada yang membawa pulang, dengan berbagai alasan yang dipercayainya sendiri.
 
 Terlepas dari cerita-cerita dibalik watu dodol, yang jelasan kawasan ini menawarkan keindahan alam. Kejernihan air laut, serta parorama batu karang yang bisa dilihat di Gardu Pandang di bukit sebelah kanan jalan. Bahkan seniman Banyuwangi saat itu, pernah mengabadikan kejernihan air laut watu dodol dalam bentuk lagu daerah Banyuwangi berjudul Padang Ulan: Padang Ulan ring pesisir Banyuwangi/Kinclong-kiclong segarane koyo koco/ Lanang wadon tuwek enom suko-suko// …. (Terang bulan di pantai Banyuwangi/Air lautnya berkilauan seperti kaca/Laki perempuan tua muda bersuka-suka) .

Namun sejak banyaknya orang-orang sekitar watu dodol melakukan pengambilan batu karang, maka “kiclong-kiclong” watu dodol tidak seperti yang tergambarkan dalam lagi yang populer tahun 1970-an itu. Bahkan di pantai Kampe, sebelah barat watu dodol, pantainya berlumpur. Batu karangnya habis diambil warga, untuk bahan campuran batu kapur. Padahal, menurut warga setempat, gambaran “kinclong-kinclong” itu dulu bisa dinikmati sejak kawasan Wongsorejo hingga ke Pantai Blimbingsari.
 
Meski kondisi sekarang tidak seideal seperti dalam lagu “Padang Ulan”, setidak kita masih bisa menikmati sisa-sisa “kiclong” laut Banyuwangi di Watudodol. Deburan ombaknya, juga bagus. Apalagi disaksikan dari Gardu Padang yang berada di bukit seberang pantai Watu Dodol. Kawasan ini, juga menjadi wisata andalan Pemkab Banyuwangi. Bisa juga dijadikan tempat istirahat, apabila wisatawan akan ke Bali atau pulang dari Bali.
Selain menikmati indahnya panorama laut, pengunjung dapat pula mendaki bukit yang letaknya hanya bersebrangan jalan, di bukit ini telah disediakan track untuk dilewati oleh pengunjung. Sesampai di atas bukit, pengunjung dapat melihat panorama selat Bali yang lebih luas dan indah. Dulu saat Bupati Syamsul Hadi berkuasa, pernah merenacakan Kampung Seniman di bukit watu dodol. Bahkan, saat itu sudah diukur kampling yang akan diberikan kepada seniman dengan konpensasi yang sangat murah. Targetnya, kawasan itu akan menjadi kampung seni, seperti Ubud-lah. Mengingat, banyak pelukis dan pembuat keraninan di Bali justru berasal dari Banyuwangi.

Untuk masalah makanan dan minuman, di pantai wisata ini telah tersedia warung-warung yang menyediakan berbagai makanan dan minuman. Selain itu juga terdapat kios-kios souvenir yang menyediakan barang-barang kerajinan berbahan baku dari kerang kerangan dan batu batuan laut.
Obyek wisata ini berada di wilayah administrasi Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, letaknya yang berada di perlintasan jalur yang menghubungkan Banyuwangi dan Situbondo membuat obyek wisata ini sangat mudah diakses baik dari arah Situbondo maupun dari arah Banyuwangi kota. Dari arah Banyuwangi kota ke obyek wisata ini dapat ditempuh dengan jarak 14 kilometer ke arah utara. Atau sekitar kurang lebih 5 kilometer dari pelabuhan ketapang. Pada hari hari libur watu dodol selalu dipadati pengunjung. Karena letaknya berada di tepi jalan poros Banyuwangi – Situbondo, watu dodol biasa dijadikan tempat peristirahatan sejenak setelah menempuh perjalanan jauh.

Kesenian Kundaran





       Bagi orang Banyuwangi, kundaran atau kuntulan dadaran, atau yang biasa disebut dengan kuntulan saja, sudah tidak asing lagi. Ia diminati banyak orang, pertunjukannya selalu disesaki oleh penonton tua-muda. Maklum saja, kuntulan versi baru ini boleh dibilang mewakili ruang batin masyarakat Banyuwangi kontemporer yang terbuka, cair, dinamis dan peka terhadap perubahan. Tidak banyak yang mencatat memang, bahwa kuntulan sebenarnya memiliki sejarah yang sangat menegangkan. Ibarat sebuah arena, ia adalah ruang tempat berbagai kepentingan dipertarungkan. Ya, kuntulan sebagai arena kontestasi.

Menurut sejarahnya, kundaran sebenarnya adalah perkembangan dari kuntulan yang embrionya adalah musik hadrah. Istilah kuntulan sendiri berasal dari kata “kuntul” yaitu nama burung kuntul yang mirip bangau. Ada juga yang berpendapat nama kuntulan berasal dari kata Arab kuntubil yang artinya “terselenggaranya pada malam hari”, dimana kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri yang mendendangkan puji-pujian berbentuk syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton. Pertunjukan kuntulan sebagian besar menyajikan lagu-lagu berisi pujian terhadap Nabi Muhammad dengan para penari serba putih sehingga sekilas tampak seperti kuntul. Dalam perkembangannya, kuntulan tidak bisa lepas dari seni hadrah barjanji. Sekitar 1950-an seni hadrah barjanji berubah nama menjadi seni hadrah kuntulan. Waktu itu, kuntulan ditarikan oleh penari (rodat) laki-laki, karena ada anggapan bahwa penari perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Gerakan tarinya pun masih sederhana, yakni gerak orang sedang shalat, wudu’ dan adzan. Busana yang dipakai terdiri dari baju putih lengan panjang, celana putih, dan kopyah hitam, tanpa memakai tata rias. Musik yang mengiringi hanya rebana dan nyanyian berjanjen. Sekitar tahun 1973 mulai diadakanlah festifal kesenian kuntulan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Banyuwangi. Pada saat itu hadrah kuntulan tak hanya menggunakan musik rebana tetapi sudah dikombinasi dengan beberapa alat musik lain seperti jidor, kempul, kendang, gong, dan seperangkat gamelan Banyuwangi. Pada tahun 1979, Sumitro, pimpinan sanggar “Jinggo Putih” mengganti para penari yang semula laki-laki dengan penari perempuan. Gerakan tari pun diubah menjadi lebih dinamis dengan sedikit menyimpang dari gerak sebelumnya. Baru kemudian pada tahun 1984, Sahuni, lulusan STSI Solo yang kini bekerja di Dinas Pariwisata Banyuwangi dan pimpinan sanggar seni “Sidopekso” menggarap kuntulan baru yang disebut kuntulan dadaran atau disingkat kundaran. Dari versi Sahuni inilah kuntulan benar-benar berubah. Lagu-lagu kuntulan dikolaborasikan dengan lagu gandrung seperti padha nonton dan jaran goyang, disamping lagu-lagu pesan pembangunan yang membuat isi dakwah Islam tinggal 20 persen saja dari keseluruhan pentas. Demikian juga tariannya yang mirip dengan motif dari Gandrung. Di tangan Sahuni inilah kuntulan tidak lagi monoton dan membosankan, melainkan menjadi semakin variatif, dinamis, dan pada akhirnya memperoleh apresiasi penonton yang luas dan beragam, tidak terbatas pada komunitas pesantren. Dengan demikian Sahuni juga semakin membuka kemungkinan lebih luas bagi kuntulan untuk menembus pasar komersial, dan oleh karena itu juga menuntut pemenuhan selera pasar. Tepat ketika kundaran hasil inovasi Sahuni memperoleh sambutan masyarakat dan makin mendominasi pertunjukan kuntulan, maka para santri yang menganggap dirinya sebagai pewaris sah seni kuntulan menuding telah ada penyimpangan substansial dalam seni kuntulan. Bahkan mereka mengecam sebagai kemaksiatan dan kemungkaran, karena ada pembacaan teks barjanji yang terpotong-potong sehingga makna sakralnya dianggap hilang. Selain itu pemujaan nama Allah diiringi dengan tari yang tidak etis. Namun sebaliknya pula, ada kalangan yang menerima pembaruan dengan menyatakan bahwa kuntulan masih tetap didukung oleh kalangan pesantren yang tinggal di pedesaan dengan misi dakwahnya. Reaksi pro kontra ini tidak hanya berlangsung di kalangan pesantren saja, tetapi juga melibatkan tarik menarik kepentingan di instansi-instansi pemerintah setempat. Setiap ada pertunjukan hadrah caruk selalu terjadi kericuhan oleh histeris para penonton, baik oleh perorangan maupun kelompok. 

Selain itu timbulnya keonaran tidak lagi karena pergeseran nilai dalam kuntulan, tetapi lebih disebabkan oleh persaingan antar kelompok kesenian. Kelompok yang pro terhadap kesenian kuntulan memperoleh dukungan dari pihak Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Depdikbud dan pihak Kesra dengan mengadakan berbagai pembahasan yang menghasilkan batasan-batasan dalam perkembangan kesenian kuntulan, serta dukungan dalam bentuk penyelenggaraan festifal. Di sisi lain, kebijakan DKB juga mendorong kuntulan tidak saja sebagai tontonan yang bersifat komersial, melainkan sebagai kesenian yang sarat dengan muatan dakwah dan pesan pembangunan. Sementara Dewan Kesenian dan Dinas Pariwisata semakin agresif, hingga kini kalangan pesantren dan kelompok puritan Islam pun tetap bergeming. Mereka terus menuntut, kuntulan harus dikembalikan ke identitas aslinya yang Islami. Dan oleh karena itu segala pertunjukan yang berbau maksiat dan mengotori warna Islam harus segera dihilangkan. Dari perjalanan sejarah kuntulan ini memang tidak bisa dipastikan kapan pertarungan dan tarik menarik kepentingan ini berakhir. Yang bisa dipastikan hanyalah kenyataan, bahwa semua pihak: para seniman, Dewan Kesenian, Dinas Pariwisata, dan kelompok-kelompok Islam sedang berkompetisi menjadi yang paling dominan dalam merepresentasikan kuntulan. Persoalannya memang apakah interaksi berbagai kepentingan ini berjalan dalam ruang dialog yang sehat, ataukah sebaliknya?