Hari itu tak pernah lepas dari catatan
hidupku yang paling kelam. Satu titik yang tak pernah kuanggap sempurna
senyumku kala aku mengingatnya. Teringat jelas tokoh-tokoh berwajah muram penuh
duka di bawah payung hitam. Menapakkan alas kakinya di tanah yang becek itu, sambil
menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar di atas sebuah makam yang baru dibuat.
Perpaduan air mata manusia-manusia berbaju hitam disana dengan air mata para
penghuni surga di langit menghasilkan bau basah yang bertebarkan wangi bunga. Dan
di sudut makam itulah aku berdiri. Badanku terhimpit orang-orang dewasa di
sekitarku yang sibuk menabur bunga sambil membawa payung mereka masing-masing. Kucoba
menerawang lebih dekat, hingga akhirnya pandanganku jatuh pada sesuatu yang
berhasil mematikan langkahku. Ekspresi wajahku kosong dan hanya berhiaskan bulir-bulir
air mata yang jatuh, berkejaran dengan titik-titik hujan lainnya. Segala jenis
suara tangis dan guntur di pemakaman itu tak mampu lagi diterima oleh kedua
kuping ini. Kelopak-kelopak bunga mawar, hanya bisa berlindung di balik
genggaman tanganku yang mengeras menyaksikan nama orang itu terukir di batu
nisan. Pijakan kakiku merapuh, hanya bisa membentuk jejak tipis di tanah
pemakaman itu. Dinginnya aura kesedihan langit tidak jua membuat tubuhku menggigil,
hanya sampai pada pelupuk mata yang membuatnya terus berair. Sebelah tanganku
merenggut setelan hitam yang kupakai di bagian dada, perih. Dadaku sesak oleh
perasaan yang tak karuan. Kurasakan paru-paruku menciut, bernapas pun menjadi
amat menyesakkan.
Dan
tepat sebelum kaki ini turut mengamuk keluar dari tempat itu, ada sesuatu yang
hinggap di bahuku. Kukira itu sentuhan tangan mama, ternyata bukan, ialah Ce
Lia, sosok anak tertua di keluarga kecilku. Aku berbalik memastikan raut wajah
yang dimiliki wanita pekerja keras berusia 24 tahun itu. Mukanya hampa sama
sepertiku, hanya ada sedikit gurat ekspresi sedih di sana. Dengan suara
paraunya, Ce Lia terus berbicara kepadaku, berusaha menjelaskan dan
menenangkanku. Tapi, apa gunanya? Orang yang kita bicarakan sudah kabur dari
dunia ini dengan begitu licik, ia pergi dan tak membalas kesedihanku dengan
apapun, kecuali sakit.
Hujan
waktu itu masih ingin tinggal, namun aku tak peduli. Dan tanpa naungan payung
atau apapun, aku tetap berpacu dengan kedua kaki ini, meninggalkan kerumunan
manusia-manusia berbaju hitam disana. Hingga aku sampai di gerbang pemakaman. Kujamah
payung hitam yang tergeletak menganga menghadap langit cukup lama. Jemari
tanganku menggeledah kantong celana jeans panjang yang kukenakan. Dan akhirnya
kutemukan ponsel berwarna merah muda itu. Kupilih menu musik, kemudian dilanjutkan
dengan memilih daftar lagu yang sering kuputar di folder “alive”. Headset telah
terpasang di telinga. Volumenya kumaksimalkan hingga tingkat yang paling keras.
Tak lama setelah kutekan tombol play
, telingaku pun digenangi lagu-lagu unik khas “bondan and fade 2 black” dan
gemercik suara guntur yang sesekali merusak lagu itu.
Hingga
akhirnya lagi, langkahku terhenti. Kali ini bukanlah mama ataupun ce lia yang
menyentuh bahuku. Tetapi lirik lagu bondan yang menyiksa batinku.
“Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu, janganlah kau bersedih, cause everything is gonna be okay”.Terlalu menyakitkan mendengarnya di tengah titik-titik air langit yang menghantam payungku. Dengan kondisiku yang baru saja kehilangan salah satu sosok paling berarti di dunia ini, lirik yang biasanya tak pernah kuanggap istimewa, kini bisa menjadi racun paling mematikan buatku. Kucabut kembali headset yang dengan kejamnya memperdengarkanku lirik tersebut. Ponsel sengaja kumatikan, mataku terpejam dan air masih terus mengucur dari dalamnya. Terbayangkan jika orang itu yang menyanyikannya untukku kini. Maka tiap kata yang menggabung menjadi kalimat pada lirik lagu itu, seolah memaksaku membuka kembali kisah-kisah yang kumiliki bersamanya, yang kini tinggal kenangan. Mulai dari kebiasaan kita beradu vokal rock saat hujan berteman dengan petir datang, berbagi cerita sambil duduk bersila menghadap ke langit, hingga menyantap bubur kacang hijau di emperan toko dekat jembatan sebelah rumah. Semakin dalam aku bernostalgia dengan kenangan manis itu, semakin aku tak mau tahu bagaimana cara melepasnya.
“Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu, janganlah kau bersedih, cause everything is gonna be okay”.Terlalu menyakitkan mendengarnya di tengah titik-titik air langit yang menghantam payungku. Dengan kondisiku yang baru saja kehilangan salah satu sosok paling berarti di dunia ini, lirik yang biasanya tak pernah kuanggap istimewa, kini bisa menjadi racun paling mematikan buatku. Kucabut kembali headset yang dengan kejamnya memperdengarkanku lirik tersebut. Ponsel sengaja kumatikan, mataku terpejam dan air masih terus mengucur dari dalamnya. Terbayangkan jika orang itu yang menyanyikannya untukku kini. Maka tiap kata yang menggabung menjadi kalimat pada lirik lagu itu, seolah memaksaku membuka kembali kisah-kisah yang kumiliki bersamanya, yang kini tinggal kenangan. Mulai dari kebiasaan kita beradu vokal rock saat hujan berteman dengan petir datang, berbagi cerita sambil duduk bersila menghadap ke langit, hingga menyantap bubur kacang hijau di emperan toko dekat jembatan sebelah rumah. Semakin dalam aku bernostalgia dengan kenangan manis itu, semakin aku tak mau tahu bagaimana cara melepasnya.
Hingga
ada satu cuplikan kenangan dimana aku duduk sila bersamanya di atas sepetak
tanah berumput hijau yang menghadap ke langit. Waktu itu aku diberi tugas oleh
guru bahasa Indonesiaku di SMP untuk membuat satu cerita yang mendeskripsikan
‘bahagia’, lalu menyimpulkan definisi dari bahagia itu sendiri. Ceritanya sudah
kuselesaikan, namun aku menjadi kikuk saat harus menulis definisi ‘bahagia’.
Memang terlihat mudah, tetapi salah menuliskan, salah pula kita mengartikannya.
Lalu kutanyakan padanya, dan jawabnya ringkas tetapi cukup untuk kumengerti, “Bahagia
itu bergantung seberapa banyaknya kamu besyukur”. Seketika kenangan-kenangan
itu lenyap dan berganti dengan kehidupan nyata yang mesti aku jalani. Dengan
kembali munculnya sang surya ditemani langit cerah beserta burung-burung yang
hinggap di antara awan putih, sangatlah membantu aku tersadar. Bahwa sejak aku
tercengang mendengar kabar kematian kakek hingga saat aku harus melihatnya berselimutkan
tanah kini, yang aku perlukan bukanlah menutupi keluhku dengan marah lalu kabur,
tetapi yang sesungguhnya aku perlukan adalah bersyukur. Syukur atas segala
kenangan manis dan pelajaran yang kudapat dari sosok seorang kakek.
Payung
hitam yang kupegang erat sejak 60 detik yang lalu, kini kulepas. Pandanganku
tidak lagi menembus jalanan yang diramaikan lalu lalang kendaraan di luar
gerbang pemakaman, tetapi berbalik di antara manusia-manusia berbaju hitam yang
hendak meninggalkan tempat itu. Dengan segenap hati, aku melangkah menembus
angin yang meniupkan air mataku ke samping. Hingga aku melihat gundukan tanah
itu lagi, sebuah makam yang baru dibuat. Perlu hening cukup panjang hingga aku
mampu mengatakan ini “Nova bersyukur pernah punya kakek di dunia ini. Terima
kasih kek, Nova sayang kakek”. Ketegaranku sudah mulai pulih, kutaburkan
kembali kelopak-kelopak bunga mawar yang sejak tadi bersembunyi dalam
genggamanku. Aku pun bangkit dan beranjak pulang ke rumah, dengan mata yang
masih berkaca-kaca, sepertinya air mata bisa tumpah dari sana kapan saja. Namun
wajahku tak lagi tanpa ekspresi seperti sebelumnya, kali ini senyumku mulai
mengembang, meski tak sesempurna ketika kakek masih ada.
“Biarpun
tadinya aku menjadi seperti pelancong kehilangan peta, nahkoda kehilangan
kompas, kini aku bisa mengangkat kembali kepalaku. Sebab aku yakin bahwa pelancong
yang kehilangan peta masih bisa tidak tersesat dengan bertanya arah kepada
orang lain di sekitarnya, dan nahkoda yang kehilangan kompas masih bisa selamat
sampai ke tujuannya dengan memperhatikan rasi bintang di langit. Ya, terkadang
aku dan banyak orang lupa, bahwa pada saat kita kehilangan sesuatu yang amat
berharga bagi kita, kita lupa bahwa kita masih punya banyak hal yang sama
berharganya dengan itu. Kita malah sibuk bergalau ria dengan rasa kehilangan,
kita malah sibuk menangis, kita malah sibuk mengingat-ingat masa lalu, tanpa
mensyukuri apa yang masih kita punya dan kembali melangkah ke depan. Manusia
memang kodratnya tak pernah puas. Tapi, apa salahnya kita sedikit melenceng
dari kodrat yang satu itu?”
Karya :
Nova Puspitawati
X4 / 23
Nova Puspitawati
X4 / 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar