Bagi orang Banyuwangi, kundaran atau
kuntulan dadaran, atau yang biasa disebut dengan kuntulan saja, sudah tidak
asing lagi. Ia diminati banyak orang, pertunjukannya selalu disesaki oleh penonton
tua-muda. Maklum saja, kuntulan versi baru ini boleh dibilang mewakili ruang
batin masyarakat Banyuwangi kontemporer yang terbuka, cair, dinamis dan peka
terhadap perubahan. Tidak banyak yang mencatat memang, bahwa kuntulan
sebenarnya memiliki sejarah yang sangat menegangkan. Ibarat sebuah arena, ia
adalah ruang tempat berbagai kepentingan dipertarungkan. Ya, kuntulan sebagai
arena kontestasi.
Menurut sejarahnya, kundaran sebenarnya
adalah perkembangan dari kuntulan yang embrionya adalah musik hadrah. Istilah
kuntulan sendiri berasal dari kata “kuntul” yaitu nama burung kuntul yang mirip
bangau. Ada juga yang berpendapat nama kuntulan berasal dari kata Arab kuntubil
yang artinya “terselenggaranya pada malam hari”, dimana kata tersebut berkaitan
dengan aktifitas santri yang mendendangkan puji-pujian berbentuk syair barjanji
dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton. Pertunjukan
kuntulan sebagian besar menyajikan lagu-lagu berisi pujian terhadap Nabi
Muhammad dengan para penari serba putih sehingga sekilas tampak seperti kuntul.
Dalam perkembangannya, kuntulan tidak bisa lepas dari seni hadrah barjanji.
Sekitar 1950-an seni hadrah barjanji berubah nama menjadi seni hadrah kuntulan.
Waktu itu, kuntulan ditarikan oleh penari (rodat) laki-laki, karena ada
anggapan bahwa penari perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Gerakan
tarinya pun masih sederhana, yakni gerak orang sedang shalat, wudu’ dan adzan.
Busana yang dipakai terdiri dari baju putih lengan panjang, celana putih, dan
kopyah hitam, tanpa memakai tata rias. Musik yang mengiringi hanya rebana dan
nyanyian berjanjen. Sekitar tahun 1973 mulai diadakanlah festifal kesenian
kuntulan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Banyuwangi. Pada saat itu
hadrah kuntulan tak hanya menggunakan musik rebana tetapi sudah dikombinasi
dengan beberapa alat musik lain seperti jidor, kempul, kendang, gong, dan
seperangkat gamelan Banyuwangi. Pada tahun 1979, Sumitro, pimpinan sanggar
“Jinggo Putih” mengganti para penari yang semula laki-laki dengan penari
perempuan. Gerakan tari pun diubah menjadi lebih dinamis dengan sedikit
menyimpang dari gerak sebelumnya. Baru kemudian pada tahun 1984, Sahuni,
lulusan STSI Solo yang kini bekerja di Dinas Pariwisata Banyuwangi dan pimpinan
sanggar seni “Sidopekso” menggarap kuntulan baru yang disebut kuntulan dadaran
atau disingkat kundaran. Dari versi Sahuni inilah kuntulan benar-benar berubah.
Lagu-lagu kuntulan dikolaborasikan dengan lagu gandrung seperti padha nonton
dan jaran goyang, disamping lagu-lagu pesan pembangunan yang membuat isi dakwah
Islam tinggal 20 persen saja dari keseluruhan pentas. Demikian juga tariannya
yang mirip dengan motif dari Gandrung. Di tangan Sahuni inilah kuntulan tidak
lagi monoton dan membosankan, melainkan menjadi semakin variatif, dinamis, dan
pada akhirnya memperoleh apresiasi penonton yang luas dan beragam, tidak
terbatas pada komunitas pesantren. Dengan demikian Sahuni juga semakin membuka
kemungkinan lebih luas bagi kuntulan untuk menembus pasar komersial, dan oleh
karena itu juga menuntut pemenuhan selera pasar. Tepat ketika kundaran hasil
inovasi Sahuni memperoleh sambutan masyarakat dan makin mendominasi pertunjukan
kuntulan, maka para santri yang menganggap dirinya sebagai pewaris sah seni
kuntulan menuding telah ada penyimpangan substansial dalam seni kuntulan.
Bahkan mereka mengecam sebagai kemaksiatan dan kemungkaran, karena ada
pembacaan teks barjanji yang terpotong-potong sehingga makna sakralnya dianggap
hilang. Selain itu pemujaan nama Allah diiringi dengan tari yang tidak etis.
Namun sebaliknya pula, ada kalangan yang menerima pembaruan dengan menyatakan
bahwa kuntulan masih tetap didukung oleh kalangan pesantren yang tinggal di
pedesaan dengan misi dakwahnya. Reaksi pro kontra ini tidak hanya berlangsung
di kalangan pesantren saja, tetapi juga melibatkan tarik menarik kepentingan di
instansi-instansi pemerintah setempat. Setiap ada pertunjukan hadrah caruk
selalu terjadi kericuhan oleh histeris para penonton, baik oleh perorangan
maupun kelompok.
Selain itu timbulnya keonaran tidak lagi karena pergeseran
nilai dalam kuntulan, tetapi lebih disebabkan oleh persaingan antar kelompok
kesenian. Kelompok yang pro terhadap kesenian kuntulan memperoleh dukungan dari
pihak Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Depdikbud dan pihak Kesra dengan
mengadakan berbagai pembahasan yang menghasilkan batasan-batasan dalam
perkembangan kesenian kuntulan, serta dukungan dalam bentuk penyelenggaraan
festifal. Di sisi lain, kebijakan DKB juga mendorong kuntulan tidak saja
sebagai tontonan yang bersifat komersial, melainkan sebagai kesenian yang sarat
dengan muatan dakwah dan pesan pembangunan. Sementara Dewan Kesenian dan Dinas
Pariwisata semakin agresif, hingga kini kalangan pesantren dan kelompok puritan
Islam pun tetap bergeming. Mereka terus menuntut, kuntulan harus dikembalikan
ke identitas aslinya yang Islami. Dan oleh karena itu segala pertunjukan yang
berbau maksiat dan mengotori warna Islam harus segera dihilangkan. Dari
perjalanan sejarah kuntulan ini memang tidak bisa dipastikan kapan pertarungan
dan tarik menarik kepentingan ini berakhir. Yang bisa dipastikan hanyalah
kenyataan, bahwa semua pihak: para seniman, Dewan Kesenian, Dinas Pariwisata,
dan kelompok-kelompok Islam sedang berkompetisi menjadi yang paling dominan
dalam merepresentasikan kuntulan. Persoalannya memang apakah interaksi berbagai
kepentingan ini berjalan dalam ruang dialog yang sehat, ataukah sebaliknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar