Matahari pagi mengintip dari peraduan di ujung
timur. Sepercik cahaya menyingkap selimut malam. Kegelapan mulai berangsur
memudar dikuti lenyapnya bulan. Hanya untuk memberikan kesempatan sang surya.
Kesempatan memenuhi hasrat memancarkan sinar kehidupan bagi makhluk Tuhan di
bumi. Tak terkecuali mereka yang dianggap kosong tak bernyawa. Semilir angin pagi meniupkan
kesejukannya yang serasa menggigit tulang. Sementara kicauan burung-burung
membangunkan para insan dari rengkuhan sang peri mimpi. Kali ini aku tak berada
di istanaku sendiri.
Seonggok
senyuman manja menyelinap masuk membuka selimut malamku. Paras yang polos,
alunan suara yang merdu, jari-jari tangan yang begitu lembut saat membelaiku,
dan juga aroma semerbak bunga melati berputar mengelilingiku. Ya, dialah
malaikat kecil yang setia menemaniku untuk sementara waktu ini. Kupanggil dia
dengan Si Senyum Putih. Kugenggam tangannya. Terasa dingin. Kami bertatapan
mata. Sepercik cahaya kecil dari bola hitam matanya kutangkap sebagai tanda
bermakna. Kulihat ia sedikit tertunduk. Aku pun mengalihkan pandangan. Senyuman
manja yang tadinya dia tebarkan kepadaku kini musnah.
Terus
menundukkan kepala dan berulang kali meremas tangannya yang ia tautkan.
Menghembuskan nafas beratnya lalu mendongakkan kepalanya dan memandangku yang
kini berwajah heran bertanya-tanya. Dia seperti merasakan dadanya teramat sesak
dan merasakan tenggorokannya terasa tersendat karena kata-kata yang sejak tadi
pagi sudah ia rangkai kini sangat sulit untuk ia ungkapkan. Ku lihat matanya
yang mulai berkaca-kaca. Mulut kecilnya kini mulai bermain mengucapkan suatu
hal yang ingin dia ucapkan kepadaku. “Aku tidak akan pernah bisa melihat senyum
itu, senyum yang selama ini menjadi senyuman favoritku dan senyuman
penyemangatku.” Kini dia mulai mengalihkan pandangannya dan tangannya terulur
untuk menghapus air mata yang berhasil lolos keluar dari pelupuk matanya. Mencoba
memejamkan matanya sejenak berusaha untuk menguatkan dan meyakinkan hatinya
kalau semua tidak akan berakhir. Sampai akhirnya dia menceritakan berita
kematian ayahnya kepadaku. Kecelakaan maut yang terjadi jauh dari lokasi kami
berada.
“Apa?”
nafasku berhenti sejenak, jantungku seakan ingin lepas karena kata-katanya,
seketika otakku membeku dan entah mulutku seakan bisu, diam seribu bahasa. Aku
coba menahan sesuatu yang akan menetes dari mataku ini, tapi entah kenapa
rasanya berat sekali. Air mata itupun akhirnya jatuh juga. Ku peluk dirinya, mencoba
menenangkan hatinya. Tubuhnya terasa lemas. Aku tak percaya ini benar-benar
terjadi. Dirinya yang menceritakan hal itu membuat mulutku berkata “innalillahi
wainnalillahi roji’un”.
Senyumannya
kini muncul. Ayunan tangannya yang lembut membasuh air mata yang tersirat dari
lekuk mataku. Ditariknya lah tanganku yang sedang menggenggam dengan eratnya.
Tubuhku tertarik bagikan orang yang menarik tali. Ku turuti apa yang ia
inginkan. Ku tak ingin senyumannya hilang. Langkah demi langkah telah kami
lalui. Aku tak tau dia ingin mengajakku kemana. Bruukk... Senyum putih itu
jatuh tertiup angin, Langkahku terhenti.
Mendekati senyum putih yang terlentang ditanah. Angin tak merusak bentuknya. Angin
tak membuatnya terluka. Angin juga tak membuat senyumnya hilang. Tapi bukan
karna angin dia terjatuh. Tapi salahkan batu hitam itu yang membuatnya
terjatuh. Kuanyunkan tanganku seraya menyokong dia untuk beranjak dari tanah
kering itu.
Matahari
mulai menyengat. Limpahan embun di dedaunan telah menguap. Ku alihkan
pandanganku ke atas langit yang nampaknya terlihat begitu cerah. Rasa aneh kini
kian menyelimuti hatiku. Seperti ada suatu hal yang akan terjadi kepada kami. Namun
tak aku hiraukan. Kami berpandangan. Bertukar senyuman. Kurasakan tubuhku
bergoyang, kukira hanya lamunan sesaat. Tiba-tiba tubuhku tersentak jatuh dan
rasa sakit menjalar dikakiku. Aku masih mencoba mengumpulkan nyawa, saat
kudengar suara lengkingan makhluk-makhluk Tuhan menjerit kencang. Batinku
tersadar bahwa gempa bumi sedang menyapa kota ini. Dengan tergopoh-gopoh
kusambar tangan Si Senyum Putih dan bergegas berlari kencang. Air mata menetes
dari pelupuk mata. Aku menangis bukan karena aku takut. Namun, aku tak tega
melihat Senyum Putih senasib dengan ayahnya.
Wahai
Merapi, mengapa kau tega mengeluarkan goncangan ini? apakah kau marah kepada
kami ? tak ibakah kau dengan segerombolan manusia yang bernyawa ini menitihkan
air mata karena kau ? sudahilah semua ini. Kasihanilah kami yang tak bersalah
atas kemarahanmu ini. Ampunilah kami. Kau tega membunuh orang yang tak bedosa
ini. Namun aku tega membunuh kau jika kau membunuh Senyum Putihku.
Goncangan
terhenti. Tangis mereda. Senyum terlihat walau itu hanya senyum tangis
bermakna. Kulihat seorang wanita yang tak asing bagiku sedang menitihkan air
mata. Beliau adalah Ibuku. Ku peluk erat tubuhnya. Kata maaf terlontar dari
mulutku. Sesaat, ku teringat Si Senyum Putih. Kucari keberadaannya. Sepercik
senyuman putih kini dapat kulihat dari balik rerindangan pohon. Ku balas
senyuman itu dengan senyuman manisku. Tiba-tiba Bruukk.. pohon itu roboh. Pohon
itu berhasil menangkap tubuh Si Senyum Putih. Tangis dan jeritan kini dengan
sergap terlontar. Ku berlari menyelamatkan nyawa Senyum Putih itu. Namun apa
daya, angin membuat Senyum Putih terjatuh. Angin membuat senyum putih kosong
tanpa nyawa. Kutahu ini adalah takdirnya untuk jatuh tertiup angin. Dan
takdirnya pula untuk ikut bersama ayahnya. Kuberikan senyuman semanis yang ku
punya. Namun kusadari senyumku itu tak dapat membuatmu bernyawa kembali.
Sepercik kilat kuselipkan sesuatu diantara genggamanku dengannya. Kudekatkan
wajahku ketelinganya. Kubisikkan sesuatu untuknya. “Aku ingin selalu melihat
senyuman putihmu. Ku tak ingin senyuman putihmu hilang karna Merapi. Ku kan
selalu mengenang Si Senyum Putih sampai akhir hayatku.”
By : Suci
Arin Annisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar