Minggu, 27 April 2014

Cerpen "Hilangkah Senyum Putih Itu ?"


Matahari pagi mengintip dari peraduan di ujung timur. Sepercik cahaya menyingkap selimut malam. Kegelapan mulai berangsur memudar dikuti lenyapnya bulan. Hanya untuk memberikan kesempatan sang surya. Kesempatan memenuhi hasrat memancarkan sinar kehidupan bagi makhluk Tuhan di bumi. Tak terkecuali mereka yang dianggap kosong tak bernyawa. Semilir angin pagi meniupkan kesejukannya yang serasa menggigit tulang. Sementara kicauan burung-burung membangunkan para insan dari rengkuhan sang peri mimpi. Kali ini aku tak berada di istanaku sendiri.

Seonggok senyuman manja menyelinap masuk membuka selimut malamku. Paras yang polos, alunan suara yang merdu, jari-jari tangan yang begitu lembut saat membelaiku, dan juga aroma semerbak bunga melati berputar mengelilingiku. Ya, dialah malaikat kecil yang setia menemaniku untuk sementara waktu ini. Kupanggil dia dengan Si Senyum Putih. Kugenggam tangannya. Terasa dingin. Kami bertatapan mata. Sepercik cahaya kecil dari bola hitam matanya kutangkap sebagai tanda bermakna. Kulihat ia sedikit tertunduk. Aku pun mengalihkan pandangan. Senyuman manja yang tadinya dia tebarkan kepadaku kini musnah.
Terus menundukkan kepala dan berulang kali meremas tangannya yang ia tautkan. Menghembuskan nafas beratnya lalu mendongakkan kepalanya dan memandangku yang kini berwajah heran bertanya-tanya. Dia seperti merasakan dadanya teramat sesak dan merasakan tenggorokannya terasa tersendat karena kata-kata yang sejak tadi pagi sudah ia rangkai kini sangat sulit untuk ia ungkapkan. Ku lihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Mulut kecilnya kini mulai bermain mengucapkan suatu hal yang ingin dia ucapkan kepadaku. “Aku tidak akan pernah bisa melihat senyum itu, senyum yang selama ini menjadi senyuman favoritku dan senyuman penyemangatku.” Kini dia mulai mengalihkan pandangannya dan tangannya terulur untuk menghapus air mata yang berhasil lolos keluar dari pelupuk matanya. Mencoba memejamkan matanya sejenak berusaha untuk menguatkan dan meyakinkan hatinya kalau semua tidak akan berakhir. Sampai akhirnya dia menceritakan berita kematian ayahnya kepadaku. Kecelakaan maut yang terjadi jauh dari lokasi kami berada.
“Apa?” nafasku berhenti sejenak, jantungku seakan ingin lepas karena kata-katanya, seketika otakku membeku dan entah mulutku seakan bisu, diam seribu bahasa. Aku coba menahan sesuatu yang akan menetes dari mataku ini, tapi entah kenapa rasanya berat sekali. Air mata itupun akhirnya jatuh juga. Ku peluk dirinya, mencoba menenangkan hatinya. Tubuhnya terasa lemas. Aku tak percaya ini benar-benar terjadi. Dirinya yang menceritakan hal itu membuat mulutku berkata “innalillahi wainnalillahi roji’un”.
Senyumannya kini muncul. Ayunan tangannya yang lembut membasuh air mata yang tersirat dari lekuk mataku. Ditariknya lah tanganku yang sedang menggenggam dengan eratnya. Tubuhku tertarik bagikan orang yang menarik tali. Ku turuti apa yang ia inginkan. Ku tak ingin senyumannya hilang. Langkah demi langkah telah kami lalui. Aku tak tau dia ingin mengajakku kemana. Bruukk... Senyum putih itu jatuh tertiup angin,  Langkahku terhenti. Mendekati senyum putih yang terlentang ditanah. Angin tak merusak bentuknya. Angin tak membuatnya terluka. Angin juga tak membuat senyumnya hilang. Tapi bukan karna angin dia terjatuh. Tapi salahkan batu hitam itu yang membuatnya terjatuh. Kuanyunkan tanganku seraya menyokong dia untuk beranjak dari tanah kering itu.
Matahari mulai menyengat. Limpahan embun di dedaunan telah menguap. Ku alihkan pandanganku ke atas langit yang nampaknya terlihat begitu cerah. Rasa aneh kini kian menyelimuti hatiku. Seperti ada suatu hal yang akan terjadi kepada kami. Namun tak aku hiraukan. Kami berpandangan. Bertukar senyuman. Kurasakan tubuhku bergoyang, kukira hanya lamunan sesaat. Tiba-tiba tubuhku tersentak jatuh dan rasa sakit menjalar dikakiku. Aku masih mencoba mengumpulkan nyawa, saat kudengar suara lengkingan makhluk-makhluk Tuhan menjerit kencang. Batinku tersadar bahwa gempa bumi sedang menyapa kota ini. Dengan tergopoh-gopoh kusambar tangan Si Senyum Putih dan bergegas berlari kencang. Air mata menetes dari pelupuk mata. Aku menangis bukan karena aku takut. Namun, aku tak tega melihat Senyum Putih senasib dengan ayahnya.
Wahai Merapi, mengapa kau tega mengeluarkan goncangan ini? apakah kau marah kepada kami ? tak ibakah kau dengan segerombolan manusia yang bernyawa ini menitihkan air mata karena kau ? sudahilah semua ini. Kasihanilah kami yang tak bersalah atas kemarahanmu ini. Ampunilah kami. Kau tega membunuh orang yang tak bedosa ini. Namun aku tega membunuh kau jika kau membunuh Senyum Putihku.
Goncangan terhenti. Tangis mereda. Senyum terlihat walau itu hanya senyum tangis bermakna. Kulihat seorang wanita yang tak asing bagiku sedang menitihkan air mata. Beliau adalah Ibuku. Ku peluk erat tubuhnya. Kata maaf terlontar dari mulutku. Sesaat, ku teringat Si Senyum Putih. Kucari keberadaannya. Sepercik senyuman putih kini dapat kulihat dari balik rerindangan pohon. Ku balas senyuman itu dengan senyuman manisku. Tiba-tiba Bruukk.. pohon itu roboh. Pohon itu berhasil menangkap tubuh Si Senyum Putih. Tangis dan jeritan kini dengan sergap terlontar. Ku berlari menyelamatkan nyawa Senyum Putih itu. Namun apa daya, angin membuat Senyum Putih terjatuh. Angin membuat senyum putih kosong tanpa nyawa. Kutahu ini adalah takdirnya untuk jatuh tertiup angin. Dan takdirnya pula untuk ikut bersama ayahnya. Kuberikan senyuman semanis yang ku punya. Namun kusadari senyumku itu tak dapat membuatmu bernyawa kembali. Sepercik kilat kuselipkan sesuatu diantara genggamanku dengannya. Kudekatkan wajahku ketelinganya. Kubisikkan sesuatu untuknya. “Aku ingin selalu melihat senyuman putihmu. Ku tak ingin senyuman putihmu hilang karna Merapi. Ku kan selalu mengenang Si Senyum Putih sampai akhir hayatku.”
By : Suci Arin Annisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar