Tarian
Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat.
Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang
satu dan garisnya abu-abu. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di
Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian
tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi
badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih
masih belum tertandingi.
Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap.
Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten
Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah
hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung. Pada masa
jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan.
Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak
tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti
dangdut," kata Temu. Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5
juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu
penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun
1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari. Temu ditemui suatu petang setelah
kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara
dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah
dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung
muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari
salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan,"
ucapnya. Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah
nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat
rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan
puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut
Temu. Pelanggaran Bagi Temu, hidup adalah berkesenian.
Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan
sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu,
meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks.
Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung
lebih penting ketimbang dirinya. Sikap itu tanpa disadari menjadikannya
"mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya
melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah
menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke
dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih
sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu
pelanggaran yang banal. Suara Temu menjadi bagian eksotisme "Timur"
yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar. Farida
Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian
tentang multikulturalisme-diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan
multikultural-menemukan, CD Temu Songs Before Dawn (Lagu Menjelang Fajar)
dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per
keping. Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih
dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS
mencatat penjualan "Songs Before Dawn" sebanyak 284.999 copy dalam 24
jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya
berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu
lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ.
Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya,
katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah
Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam
untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan
komersial. Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan
enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya
dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa
keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah
terjual 10.000 keping sehari. Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk
pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena
itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu
lalu. Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan
internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama
dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat
"internasional" itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul
rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang
merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu. "Lha saya bisa
apa?" itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu.
"Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup." Sejak tahun 1980 Temu
hidup sendiri. "Malas nggodok wedang. Capek," katanya. Dua
perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan
merawat kakak ibunya "Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi,
he-he-he.." Jalan Hidup Sejarah hidup Temu sebagai penari
Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak
mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk
di-suwuk. Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa
dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat
lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, "Jadikan dia gandrung kalau sudah
besar." Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya
mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli
mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik
pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di
puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun
1950-an. "Mula-mula takut," kenangnya. Tak lebih dari setahun, Temu
menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya.
Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi
penonton. Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. "Kalau pakai
itu, cuma bertahan sebentar," katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia
tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing
semalaman atau sekitar sembilan jam! Seandainya dilahirkan kembali, apakah ia
mau meniti jalan yang sama, sebagai penari Gandrung? Jawab Temu, "Saya mau
tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan
menari.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar